Sangkaan Buruk Terhadap Pekerja Pers di Natuna
“Kawan! Abaikan saja celoteh mereka yang berburuk sangka. Teruskan diskusi dalam diam untuk mempercepat pembangunan daerah ini. Tetaplah bekarya untuk negeri. Menyuarakan aspirasi untuk demokrasi. Walau memang tidak pernah ada dalam daftar sebagai penerima gaji. Seperti layaknya pegawai negeri, yang konon katanya sebagai seorang pengabdi”
NYARIS terkejut! mendengar cerita dari seseorang. Ada-ada saja. Atau mungkin memang suka berburuk sangka. Pekerja pers di daerah ini dianggap ibarat seseorang yang sedang lapar, lalu mengambil nasi dalam rice cooker, menutupnya setelah kenyang dan membukanya kembali ketika lapar.
Pukul 08.15 Wib pagi itu, Herman tidak buru-buru. Dengan santai ia mematikan mesin, dan memarkirkan motornya di depan Kedai Kopi Ayong, Ranai. Sebab, teh jahe panas minuman kesukaannya memang belum dipesan. Begitu juga dengan Riky, pewarta muda yang terbilang enerjik, tersenyum si Manalu menyimak jerit.
Kedai Kopi Ayong memang sudah menjadi semacam pangkalan. Tempat berkumpulnya para kuli tinta yang bertugas di daerah maritim kepulauan. Sebuah kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terkenal kaya akan potensi perikanan, namun sayang belum terkelola maksimal.
Seperti biasa, hampir setiap hari. Baik sebelum maupun setelah melakukan aktifitas mencari informasi untuk diolah menjadi berita. Salah satu meja panjang di bagian depan Kedai Kopi Ayong itu, penuh pewarta.
Duduk satu meja dengan beragam pemikiran. Tak ada tema khusus yang dibahas, kebetulan memang meja terbuka itu bukan tempatnya. Ada yang diam membisu, namun jemarinya terlihat lincah menari, merangkai huruf demi huruf, menekan papan tombol telepon android.
Sisi lain ada yang terlihat asik ngobrol berduaan. Ada juga yang berbicara pelan dan semakin pelan, melalui telepon. Bahkan ada juga yang tertawa dan terus tertawa, entah apa yang membuatnya lucu, namun tak ada yang merasa terganggu.
Begitulah kehidupan wartawan di perbatasan negeri ini, yang sebenarnya hanya punya sedikit waktu untuk bisa berkumpul, bercerita dan tertawa ria bersama keluarga tercinta di rumah. Terlihat santai dan menyenangkan, namun kesibukan para pemburu informasi ini jarang diketahui.
Duduk sambil menikmati asap tembakau dan bergelas-gelas kopi, adalah salah satu cara wartawan bekerja mengumpul dan mengolah informasi, tapi sayangnya disebut tidak berkontribusi untuk daerah ini. Bahkan ada yang mendiskriminasi dengan menyebut ‘enak jadi wartawan duduk ngopi dapat piti’.
Anggapan-anggapan itu, sepertinya sudah tak asing lagi bagi pekerja pers. Meski terasa pahit, namun tetap santun membalasnya dengan senyuman. Anehnya lagi, sempat-sempat ada yang beranggapan, wartawan duduk di kedai kopi tinggal pesan lalu pergi sesuka hati, karena sudah ada yang membayarnya. Sungguh, saya benar-benar terkejut!
Ada juga yang menganggap pekerjaan menjadi wartawan memilki banyak waktu luang. Padahal setiap menit, bahkan hampir setiap detik, informasi selalu saja datang mengusik. Memanggil mereka untuk segera melakukan peliputan, agar nanti informasi yang diolah menjadi berita dapat disajikan sesuai fakta lapangan.
Hari itu, Rabu, 09 Februari 2022, bertepatan dengan Hari Pers Nasional. Alhamdulillah sedikit waktu dapat kami ‘curi’ buat berbagi cerita dan bertukar fikiran, tentang ‘tuah laut’ yang terlihat seperti tak lagi mampu berdiri menghidupkan umatnya, karena secara terus menerus ia di ‘curi’.
Belum lagi penilaian-penilaian negatif di medsos seperti facebook tanpa menguji kebenaran tumbuh subur. Dengan mudah menyebut pekerja pers di daerah ini (Natuna) tak profesional, tak berbobot, penakut, pengecut dan bungkam. Padahal dari sumbangsih karya tulis jurnalistik yang mereka-meraka anggap bungkam, penakut dan pengecut ini lah Natuna mendunia.
Tapi tak apalah! meski tak dianggap namun kami akan tetap selalu ada di sudut mana-mana saja. Karena memang kami sudah lama terlanjur ada di negeri ini. Sepanjang kehidupan ini masih ada, dan nafas kami masih berhembus. Meskipun kami tidak pernah ada dalam kebijakan-kebijakan yang terus ada-ada saja dibahas setiap harinya.
Kawan! abaikan saja celoteh mereka yang mungkin suka mengada-ada. Tetaplah terus berkarya untuk negeri ini. Menyuarakan aspirasi untuk demokrasi. Walau memang tidak pernah ada dalam daftar sebagai penerima gaji. Seperti layaknya ‘pegawai negeri’, yang konon katanya sebagai seorang pengabdi.
Teruskan saja diskusi dalam diam untuk negeri ini. Bersama kita tegakkan pilar keempat demokrasi. Merekam fakta-fakta. Merangkai kata-kata menjadi berita. Walaupun pasti terhadang derita. Itu lah ladang amal kita. Menjadi spirit generasi bangsa setelah kita tiada. Sampai akhir menutup mata. (***).
Penulis : Amran, Pemred koranperbatasan.com