Implikasi dan Dinamika Tiga Calon Capres-Cawapres Dalam Pesta Demokrasi
Ditulis oleh: Muhammad Kurniadi
Pada tahun 2023 saat ini, telah terkuak tiga pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang akan tampil meminta suara rakyat di ajang Pemilihan Presiden tahun 2024 yang akan datang. Hal ini merupakan bagian dari roda demokrasi di Indonesia, dan terlepas dari segala kontroversi hukum yang mengikuti masing-masing pasangan tersebut, terdapat sebuah benang merah.
Pemilihan wakil rakyat, terutama posisi yang tinggi seperti Presiden dan Wakil Presiden sejatinya merupakan kewajiban bagi warga negara untuk melihat visi misi, ideologi, serta bobot politik lainnya dibalik masing-masing pasangan. Namun, dalam Pemilihan Presiden tahun 2014 dan tahun 2019 yang lalu karena hanya terdapat dua pasangan saja yang maju, warga negara Indonesia seakan terdesak oleh dua pilihan yang belum tentu berhasil merepresentasikan keinginan mereka dalam pemerintahan. Hal ini yang menjadi dasar utama mengapa tiga pasangan calon merupakan sesuatu yang lebih baik bagi demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
Dalam perihal penyelenggaraan dan biaya pilpres itu sendiri, harus diakui bahwa dua calon presiden dan wakil presiden saja dapat mempermudah proses pemungutan suara, akan tetapi hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan. Dengan hanya dua kandidat, pemilih mempunyai pilihan terbatas, yang mungkin tidak cukup mewakili beragam pendapat dan preferensi masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kompetisi dan keragaman ideologi politik serta usulan kebijakan. Sistem dua kandidat mungkin tidak sepenuhnya mewakili keragaman penduduk suatu negara dalam hal etnis, gender, status sosial ekonomi dan faktor lainnya.
Hal ini dapat mengakibatkan kelompok tertentu merasa terpinggirkan atau kurang terwakili dalam proses politik. Dalam sistem dua kandidat, kandidat yang menang mungkin akan menghadapi lebih sedikit akuntabilitas karena tidak ada alternatif bagi pemilih untuk mengungkapkan ketidakpuasannya. Hal ini dapat mengurangi insentif bagi pejabat terpilih untuk mengatasi permasalahan dan kebutuhan para pemilih.
Ketika pemilih merasa bahwa pilihannya terbatas atau hasilnya sudah ditentukan sebelumnya, motivasi untuk terlibat dalam masyarakat mungkin berkurang. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih dan menurunnya partisipasi politik secara keseluruhan. Hal ini terjadi terutama dalam pilpres 2019 yang lalu dimana gelombang ‘golput’ merupakan opsi yang cukup terkenal di kalangan pemilih karena ketidakcocokan dengan kedua calon pasangan yang ada saat itu.
Kelebihan dari sebuah pemilihan umum dengan setiaknya tiga kandidat adalah kemungkinan yang tentu lebih banyak pemilih untuk memilih kandidat yang lebih beragam, sehingga berpotensi lebih mewakili beragam pandangan, latar belakang, dan perspektif dalam masyarakat. Hal ini dapat menghasilkan refleksi preferensi pemilih yang lebih bernuansa dan akurat.
Dengan adanya tiga kandidat, persaingan dalam proses pemilu menjadi lebih besar. Hal ini dapat menumbuhkan lingkungan politik yang lebih dinamis dan kompetitif, mendorong kandidat untuk membedakan diri mereka, menyampaikan proposal kebijakan yang berbeda dan melibatkan pemilih dalam isu-isu yang lebih luas. Kehadiran tiga kandidat memberi pemilih lebih banyak pilihan untuk mengungkapkan preferensi dan ketidakpuasannya.
Peningkatan akuntabilitas ini dapat menghasilkan tingkat respons yang lebih tinggi dari para pejabat terpilih, karena mereka sadar bahwa mereka perlu menarik perhatian segmen masyarakat yang lebih luas. Dalam sistem multi-kandidat, kemungkinan besar akan muncul kandidat yang mewakili berbagai kepentingan daerah dan etnis.
Hal ini dapat berkontribusi pada keterwakilan yang lebih seimbang dan inklusif dalam pemerintahan, memastikan bahwa kebutuhan dan keprihatinan berbagai komunitas diperhitungkan. Secara khusus, dapat dikatakan bahwa adanya tiga calon pasangan dalam Pilpres merupakan hal yang penting untuk menghindari adanya polarisasi politik seperti yang terjadi sebelumnya.
Selama satu dekade terakhir, polarisasi politik diantara rakyat Indonesia merupakan hal yang sangat buruk dan terjadi karena sebelumnya hanya terdapat dua calon pasangan saja. Potensi polarisasi dalam sistem dua kandidat sering dikaitkan dengan dinamika pilihan biner, dimana pemilih dihadapkan pada dua pilihan yang sangat berbeda sehingga menghasilkan mentalitas “kita versus mereka”, ketika individu-individu menyelaraskan diri dengan salah satu dari dua kandidat utama. kandidat atau partai.
Dalam persaingan dua kandidat, para kandidat mungkin mengambil posisi yang lebih terpolarisasi dan ekstrem untuk membedakan diri mereka dari lawannya dan memperkuat basis mereka. Hal ini selanjutnya dapat berkontribusi pada terpolarisasinya pemilih. Namun, dengan adanya tiga kandidat, pemilih mempunyai pilihan jalan tengah, yang dapat mendorong kompromi dan moderasi. Kandidat mungkin perlu menarik lebih banyak pemilih, sehingga mengurangi kecenderungan untuk mengambil posisi ekstrem. Kehadiran kandidat ketiga mematahkan narasi biner dan memperkenalkan perspektif tambahan ke dalam wacana politik.
Hal ini dapat mendorong diskusi isu-isu yang lebih bernuansa, mengurangi persepsi adanya kesenjangan yang jelas antara dua pihak yang berlawanan. Sistem tiga kandidat dapat lebih mengakomodasi beragam perspektif, kepentingan regional dan beragam usulan kebijakan. Inklusivitas ini dapat berkontribusi pada keterwakilan yang lebih seimbang, mengurangi perasaan terkucilkan di antara segmen masyarakat tertentu.
Lebih jauh lagi, pemilihan yang memiliki lebih dari dua kubu akan dapat mendorong tim kampanye dari tiap calon untuk menerapkan strategi berbasis adu visi dan misi. Hal ini akan mengakibatkan strategi berbasis polarisasi tidak akan lagi dianggap sebagai cara efektif untuk menarik dukunga bahkan jika terdapat elemen-elemen dalam tim pemenangan setiap calon yang tetap ingin menggunakan strategi tersebut. Dalam sistem tiga kandidat, para kandidat seringkali perlu menarik lebih banyak pemilih untuk meraih kemenangan.
Mengambil posisi ekstrim atau terpolarisasi dapat mengasingkan calon pendukung yang berada di jalur tengah. Kandidat mungkin diberi insentif untuk mengambil sikap yang lebih moderat untuk menarik lebih banyak pemilih. Merangkul polarisasi dalam persaingan tiga kandidat membawa risiko marginalisasi. Jika seorang kandidat hanya berfokus untuk memberi energi pada basisnya dengan mengambil posisi ekstrim, mereka mungkin akan kesulitan menarik pemilih di luar segmen sempit tersebut. Hal ini dapat membatasi elektabilitas mereka secara keseluruhan dan menghambat peluang mereka untuk menang.
Hilangnya polarisasi politik sebagai akibat dari adanya tiga calon pasangan Capres-Cawapres sudah dapat dianggap sebagai kemenangan tersendiri bagi demokrasi Indonesia, terlepas dari siapa yang nantinya akan menang. Berkurangnya polarisasi akan menumbuhkan kohesi sosial dan keharmonisan yang lebih besar di dalam negeri. Ketika warga negara tidak terlalu terpecah belah dalam hal politik, maka akan ada kemungkinan lebih besar terjadinya persatuan dan kolaborasi antar berbagai segmen masyarakat.
Tingkat polarisasi yang lebih rendah berkontribusi terhadap stabilitas politik. Dalam lingkungan yang tidak terlalu terpolarisasi, kandidat yang menang kemungkinan besar akan menghadapi lebih sedikit perlawanan dan oposisi, sehingga memungkinkan terciptanya tata kelola dan implementasi kebijakan yang lebih efektif. Stabilitas ini sangat penting bagi pembangunan dan kemajuan bangsa secara keseluruhan. Polarisasi yang lebih rendah mendorong pengambilan keputusan yang lebih inklusif. Dalam iklim politik yang tidak terlalu terpolarisasi, terdapat kemungkinan lebih besar terjadinya kolaborasi dan kompromi antara berbagai faksi politik, sehingga menghasilkan kebijakan yang mempertimbangkan perspektif yang lebih luas dan memenuhi kebutuhan komunitas yang beragam.
Polarisasi yang lebih rendah dapat berkontribusi terhadap keharmonisan sosial dengan mengurangi ketegangan dan konflik antar kelompok yang berbeda. Hal ini dapat mengarah pada masyarakat yang lebih inklusif dan toleran dimana individu dengan latar belakang dan pendapat yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai.
Meskipun pemilu pada dasarnya bersifat kompetitif, dan perbedaan pendapat politik adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi, polarisasi ekstrem dapat berdampak buruk pada tatanan sosial dan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi. Oleh karena itu, mencapai keseimbangan dan mengurangi polarisasi dapat berkontribusi pada sistem demokrasi yang lebih sehat dan tangguh di Indonesia. Iklim politik yang tidak terlalu terpolarisasi dapat mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Ketika warga negara merasakan lingkungan politik yang lebih kolaboratif dan tidak terlalu konfrontatif, mereka mungkin akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam aktivitas sipil, termasuk pemungutan suara, keterlibatan masyarakat dan advokasi.
Menurunnya polarisasi dapat meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi. Ketika masyarakat melihat bahwa para pemimpin politik bekerja sama dan menghormati prinsip-prinsip demokrasi, besar kemungkinan mereka akan mempercayai lembaga-lembaga yang mengatur mereka. Semua ini merupakan pertanda baik bagi masyarakat sipil Indonesia dan merupakan langkah maju menuju kemajuan bagi bangsa kita. (*)