KLIKINFOKOTA.CO.ID – Hilirisasi (pemanfaatan) kekayaan intelektual (KI) semakin menjadi fokus pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, untuk meningkatkan perekonomian negara. Namun, meskipun Indonesia memiliki banyak kekayaan intelektual, terutama paten, masih banyak pemilik paten yang belum memanfaatkan hasil inovasinya di industri atau masyarakat.
“Perguruan tinggi di Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total permohonan paten di dalam negeri. Namun, pemanfaatan paten ini masih minim. Kami mendorong universitas untuk tidak hanya fokus pada jumlah paten, tetapi juga pada dampak kualitas paten bagi industri dan masyarakat,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, di kantor DJKI pada Jumat, 10 Januari 2025.
Salah satu tantangan utama bagi universitas adalah adanya kesenjangan antara hasil inovasi akademik dan kebutuhan industri. Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia (UI), Chairul Hudaya, mengungkapkan bahwa banyak inovasi yang dihasilkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan langsung di lapangan, sehingga sulit menarik perhatian industri. Untuk mengatasi hal ini, UI kini mengubah pendekatannya dengan menerapkan konsep “belanja masalah” dari industri.
“Pendekatan ini memungkinkan inovasi yang dihasilkan langsung menyelesaikan masalah nyata. Kami mendatangi berbagai industri untuk mencari tahu permasalahan mereka, lalu bekerja sama untuk mencari solusi. Kami juga berharap bisa menghasilkan KI gabungan antara industri dan UI di masa depan,” kata Chairul.
Selain itu, masih banyak peneliti yang belum menguasai cara membuat dokumen paten atau proses drafting paten. Untuk itu, UI menyelenggarakan berbagai program untuk membantu para peneliti, termasuk sosialisasi, diseminasi, dan pendampingan langsung.
“Kami berusaha mendekati peneliti untuk mengetahui hambatan yang mereka hadapi, terutama dalam membuat drafting paten atau menemukan ide yang orisinal. Dengan begitu, proses pendaftaran paten ke DJKI bisa lebih cepat karena kesalahan dapat diminimalkan,” ujar Chairul.
Tantangan lain yang dihadapi universitas adalah kurangnya pemahaman tentang sistem pembagian royalti antara peneliti dan universitas ketika paten atau KI dilisensikan kepada industri. Untuk mengatasi hal ini, UI telah membangun sistem pengelolaan KI yang terintegrasi, dari hulu hingga hilirisasi, melalui Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT).
Chairul menjelaskan, “Kami mendukung ekosistem KI tidak hanya pada tahap pendaftaran, tetapi juga membantu proses hilirisasi KI dari civitas akademika UI, dan memberikan keuntungan kepada peneliti.”
Saat ini, UI telah berhasil menghilirisasi sekitar 67 paten ke industri dari 787 paten yang terdaftar. Paten-paten tersebut menghasilkan royalti sebesar Rp600 juta hingga Rp700 juta, yang dibagi dengan proporsi 70% untuk peneliti dan 30% untuk universitas. Sistem ini diatur dalam Peraturan Rektor No. 3 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual.
Salah satu contoh sukses hilirisasi KI dari UI adalah alat bantu pernapasan “Covent-20”, yang dikembangkan saat pandemi Covid-19. Produk ini tidak hanya memberikan dampak finansial, tetapi juga dampak sosial yang besar. Chairul menegaskan bahwa dampak sosial dari inovasi menjadi salah satu indikator keberhasilan hilirisasi KI di UI.
“Seperti yang dikatakan rektor kami, di UI kami tidak hanya unggul, tapi juga berdampak. Paten ini membantu masyarakat di masa pandemi, dan itu adalah bukti nyata hilirisasi yang tepat,” ujar Chairul.
Harapan untuk Pemanfaatan Kekayaan Intelektual
Perkembangan teknologi dan tren global turut memberikan tantangan bagi ekosistem kekayaan intelektual di UI. Untuk itu, UI sedang mempersiapkan digitalisasi layanan KI, agar peneliti dan pemilik KI dapat dengan cepat mendapatkan perlindungan hukum.
Chairul menjelaskan, “Kami sedang membuat situs untuk menampilkan hasil-hasil KI, baik itu teknologi inovasi, produk, atau hak cipta dari dosen dan mahasiswa UI, yang bisa diakses oleh mitra industri. Selain itu, kami juga sedang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu mengelola KI, drafting, dan menganalisis tren ke depan.”
Senada dengan Razilu, Chairul berharap ada sinergi lebih erat antara institusi pendidikan, pemerintah, dan industri untuk mendukung hilirisasi KI di Indonesia. Ia berharap ke depannya, inovasi yang dihasilkan tidak hanya meningkatkan ekonomi, tetapi juga kualitas sumber daya manusia.
“Kami ingin berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan menghasilkan inovasi yang berdampak. Untuk itu, diperlukan sinergi antara universitas dan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap KI yang kami hasilkan. Kami terus berupaya untuk mewujudkan kampus yang unggul dan berdampak untuk Indonesia,” tutup Chairul. (Leni)